Dwi Cahyaningsih
Jumat, 25 Oktober 2019
Rabu, 16 Oktober 2019
Artikel GLOBAL WARMING (PEMANASAN GLOBAL)
PEMANASAN GLOBAL:
Dampak dan Upaya Meminimalisasinya
Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan
ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu rata-rata di
permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C. Meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca,
seperti; karbondioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon,
dan sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini terutama dihasilkan dari proses
pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta akibat
penggundulan dan pembakaran hutan.
Pemanasan global diperkirakan telah menyebabkan perubahan-perubahan
sistem terhadap ekosistem di bumi, antara lain; perubahan iklim yang ekstrim,
mencairnya es sehingga permukaan air laut naik, serta perubahan jumlah dan pola
presipitasi. Adanya perubahan sistem dalam ekosistem ini telah memberi dampak
pada kehidupan di bumi seperti terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan
punahnya berbagai jenis hewan.
Efek rumah kaca sebagai suatu sistem di bumi sangat dibutuhkan oleh
makhluk hidup di bumi. Suhu atmosfer bumi akan menjadi lebih dingin jika tanpa
efek rumah kaca. Tetapi, jika efek rumah kaca berlebihan dibandingkan dengan
kondisi normalnya maka sistem tersebut akan bersifat merusak. Melihat sebagian
besar emisi gas rumah kaca bersumber dari aktivitas hidup manusia, maka pemanasan
global harus ada upaya solusinya dengan merubah pola hidup dan perilaku
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini diharapkan dapat memberi wawasan dan pengetahuan bagi
masyarakat tentang apa dan bagaimana terjadinya pemanasan global, serta bagaimana
perilaku masyarakat yang diharapkan dalam upaya meminimalisasi efek terjadinya
pemanasan global.
Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama
yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungann dengan proses
meningkatnya RPeningkatan suhu permukaan bumi ini
dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian
sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah
diserap oleh udara dan permukaan bumi.
Sebagian sinar infra merah dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap
oleh gas-gas rumah kaca yang kemudian menyebabkan suhu bumi meningkat. Gasgas rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida.
Kontribusi besar yang mengakibatkan akumulasi gas-gas kimia ini di atmosfir adalah
aktivitas manusia. Temperatur global rata-rata setiap tahun dan lima tahunan tampak
meningkat, seperti pada diagram berikut (Anonim, 2004).
Penyebab Pemanasan Global
Efek rumah kaca
Proses terjadinya efek rumah kaca dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
Dalam rumah kaca (greenhouse) yang digunakan dalam budidaya terutama di negara
yang mengalami musim salju, atau percobaan tanaman dalam bidang biologi dan
pertanian, energi matahari (panas) yang masuk melalui atap kaca sebagian dipantulkan keluar atmosfer dan sebagian lainnya terperangkap di dalam greenhouse
sehingga menaikkan suhu di dalamnya. Gambar berikut menunjukkan bagaimana
terjadinya efek rumah kaca (Gealson,2007).
Contoh lain yang dapat mengilustrasikan kejadian efek rumah kaca adalah, ketika kita
berada dalam mobil dengan kaca tertutup yang sedang parkir di bawah terik matahari.
Panas yang masuk melalui kaca mobil, sebagian dipantulkan kembali ke luar melalui
kaca tetapi sebagian lainnya terperangkap di dalam ruang mobil. Akibatnya suhu di
dalam ruang lebih tinggi (panas) daripada di luarnya (Gealson,2007).
Matahari merupakan sumber energi utama dari setiap sumber energi yang
terdapat di bumi. Energi matahari sebagian terbesar dalam bentuk radiasi gelombang
pendek, termasuk cahaya tampak. Energi ini mengenai permukaan bumi dan berubah
dari cahaya menjadi panas. Permukaan bumi kemudian menyerap sebagian panas
sehingga menghangatkan bumi, dan sebagian dipantulkannya kembali ke luar
angkasa. Menumpuknya jumlah gas rumah kaca seperti uap air, karbon dioksida, dan
metana di atmosfer mengakibatkan sebagian dari panas ini dalam bentuk radiasi infra
merah tetap terperangkap di atmosfer bumi, kemudian gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan oleh permukaan bumi.
Akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Kondisi ini dapat
terjadi berulang sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gambar berikut menunjukkan bagaimana terjadinya pemanasan global (Gealson,2007).
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca pada atap rumah kaca. Makin
meningkat konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin besar pula efek panas yang
terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada
di bumi, karena tanpa efek rumah kaca planet bumi akan menjadi sangat dingin lebih
kurang -18°C, sehingga sekuruh permukaan bumi akan tertutup lapiesan es. Dengan
temperatur rata-rata sebesar 15°C, bumi sebenarnya telah lebih panas 33°C dengan
efek rumah kaca. Akan tetapi jika gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, maka
akan terjadi sebaliknya dan mengakibatkan pemanasan global.
Efek balik
Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses efek balik
yang dihasilkannya, seperti pada penguapan air. Pada awalnya pemanasan akan lebih
meningkatkan banyaknya uap air di atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas
rumah kaca, maka pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di
udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Keadaan ini
menyebabkan efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh
akibat gas CO2 itu sendiri. Peristiwa efek balik ini dapat meningkatkan kandungan air
absolut di udara, namun kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak
menurun karena udara menjadi menghangat. Karena usia CO2 yang panjang di
atmosfer maka efek balik ini secara perlahan dapat dibalikkan (Soden and Held,
2005).
Selain penguapan, awan diduga menjadi efek balik. Radiasi infra merah akan
dipantulkan kembali ke bumi oleh awan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sementara awan tersebut akan memantulkan pula sinar Matahari dan
radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Secara
detail hal ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam
model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke 4). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada
peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif
(menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat (Soden and Held, 2005).
Efek balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya oleh es. Lapisan es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan
yang terus meningkat ketika temperatur global meningkat. Bersamaan dengan
mencairnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Daratan maupun
air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan
dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Kejadian ini
akan menambah faktor penyebab pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es
yang mencair, sehingga menjadi suatu siklus yang berkelanjutan (Thomas, 2001).
Faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap pemanasan global adalah efek
balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku
(permafrost). Selain itu, es yang mencair juga akan melepas CH4 yang juga dapat
menimbulkan umpan balik positif.
Laut memiliki kemampuan ekologis untuk menyerap karbon di atmosfer.
Fitoplankton mampu menyerap karbon guna kelangsungan proses fotosintesis. Tetapi
kemampuan ini akan berkurang jika laut menghangat yang diakibatkan oleh
menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan
diatom daripada fitoplankton (Buesseler, et al, 2007).
Variasi matahari
Pemanasan global dapat pula diakibatkan oleh variasi matahari. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa variasi dari Matahari yang diperkuat oleh umpan balik
dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini (Marsh and Henrik,
2000). Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca
adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer, sebaliknya efek
rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah
paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas
Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga
dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai
akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas
gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri
hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950 (Hegerl, et al. 2007,
Ammann, et al, 2007).
Hasil penelitian menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah
diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University
mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50%
peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-
35% antara tahun 1980 dan 2000 (Scafetta and West, 2006). Selanjutnya menurut Stott (2003) bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi
berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh
Matahari, mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik
dan aerosol sulfat juga tidak diperhitungkan. Walaupun demikian, mereka
menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap
pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekadedekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 menurut
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan 2100.
Dengan menggunakan model iklim, perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa
mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian
besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka
air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun
tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas
dari lautan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan
serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia
mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau
membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi
yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani
dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas
rumah kaca.
Protokol ini mengharuskan negara-negara industri untuk menurunkan
emisinya sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 dengan target waktu
hingga 2012 dan baru memperoleh kekuatan hukumnya secara internasional pada
tanggal 16 Februari 2005. Hingga 23 Oktober 2007 sudah 179 negara yang
meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Kemudian pada tanggal 3-14 Desember 2007 di
Bali diselenggarakanlah Konvensi Tingkat Tinggi yang digelar oleh UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change) dan dihadiri hampir 10
ribu orang dari 185 negara. Melalui pertemuan tersebut diharapkan dapat
mengevaluasi hasil kinerja dari Protokol Kyoto yang dibuat sebagai bukti komitmen
negara-negara sedunia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca demi
menanggulangi permasalahan yang terjadi saat ini.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang
merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mencairnya lapisan es di kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini mengakibatkan
naiknya permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir
terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi,
dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi. Jika ini terjadi terus
menerus maka akibatnya dapat mengancam sendi kehidupan masyarakat.
2. Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim
menyebabkan musim sulit diprediksi. Petani tidak dapat memprediksi perkiraan
musim tanam akibat musim yang juga tidak menentu. Akibat musim tanam yang
sulit diprediksi dan musim penghujan yang tidak menentu maka musim produksi
panen juga demikian. Hal ini berdampak pada masalah penyediaan pangan bagi
penduduk, kelaparan, lapangan kerja bahkan menimbulkan kriminal akibat
tekanan tuntutan hidup.
3. Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas toleransi terhadap
suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global
menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada
pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi
ini pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
4. Habitat hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembaban dan
produktivitas primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk
menemukan habitat baru yang sesuai. Migrasi burung akan berubah disebabkan
perubahan musim, arah dan kecepatan angin, arus laut (yang membawa nutrien
dan migrasi ikan).
5. Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
6. Ketinggian gunung-gunung tinggi berkurang akibat mencairnya es pada
puncaknya.
7. Perubahan tekanan udara, suhu, kecepatan dan arah angin menyebabkan
terjadinya perubahan arus laut. Hal ini dapat berpegaruh pada migrasi ikan,
sehingga memberi dampak pada hasil perikanan tangkap.
8. Berubahnya habitat memungkinkan terjadinya perubahan terhadap resistensi
kehidupan larva dan masa pertumbuhan organisme tertentu, kondisi ini tidak
menutup kemungkinan adanya pertumbuhan dan resistensi organisme penyebab
penyakit tropis. Jenis-jenis larva yang berubah resistensinya terhadap perubahan
musim dapat meningkatkan penyebaran organisme ini lebih luas. Ini
menimbulkan wabah penyakit yang dianggap baru.
9. Mengancam kerusakan terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang yang
ada di enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua Nugini, Timor Leste, dan Philipina. Dikhawatirkan merusak kehidupan
masyarakat lokal yang berada di sekitarnya. Masyarakat lokal yang pertama kali
menjadi korban akibat kerusakan terumbu karang ini. Untuk menyelamatkan
kerusakan terumbu karang akibat pemanasan global ini, maka para aktivis
lingkungan dari enam negara tersebut telah merancang protokol adaptasi
penyelamatan terumbu karang. Lebih dari 50 persen spesies terumbu karang
dunia hidup berada di kawasan segitiga ini. Berdasarkan data Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), sebanyak 30 persen terumbu karang dunia telah
mati akibat badai el nino pada 1998 lalu. Diprediksi, pada 10 tahun ke depan akan
kembali terjadi kerusakan sebanyak 30 persen.
Meminimalisasi Dampak Pemanasan Global
1. Konservasi lingkungan, dengan melakukan penanaman pohon dan penghijauan di
lahan-lahan kritis. Tumbuhan hijau memiliki peran dalam proses fotosintesis,
dalam proses ini tumbuhan memerlukan karbondioksida dan menghasilkan
oksigen. Akumulasi gas-gas karbon di atmosfer dapat dikurangi.
2. Menggunakan energi yang bersumber dari energi alternatif guna mengurangi
penggunaan energi bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara). Emisi gas
karbon yang terakumulasi ke atmosfer banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan
bakar fosil. Kita mengenal bahwa paling banyak mesin-mesin kendaraan dan
industri digerakkan oleh mesin yang menggunakan bahan bakar ini. Karena itu
diupayakan sumber energi lain yang aman dari emisi gas-gas ini, misalnya;
menggunakan energi matahari, air, angin, dan bioenergy. Di daerah tropis yang
kaya akan energi matahari diharapkan muncul teknologi yang mampu
menggunakan energi ini, misalnya dengan mobil tenaga surya, listrik tenaga
surya. Sekarang ini sedang dikembangkan bioenergy, antara lain biji tanaman
jarak (Jathropa. sp) yang menghasilkan minyak.
3. Daur ulang dan efisiensi energi. Penggunaan minyak tanah untuk menyalakan
kompor di rumah, menghasilkan asap dan jelaga yang mengandung karbon.
Karena itu sebaiknya diganti dengan gas. Biogas menjadi hal yang baik dan perlu
dikembangkan, misalnya dari sampah organik.
4. Upaya pendidikan kepada masyarakat luas dengan memberikan pemahaman dan
penerapan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Dimensi manusia
Manusia berperan sebagai pengguna-perusak-pelestari alam. Manusia harus
diberi kesadaran akan pentingnya alam bagi kehidupannya. Alam memiliki
keterbatasan dibanding kemampuan manusia dalam mengeksploatasi alam.
Manusia memanfaatkan alam guna memperoleh sumber makanan dan
kebutuhan sosial lainnya, tetapi disadari atau tidak tindakannya dapat
berakibat kerusakan faktor-faktor ekologis. Karena itu manusia harus
menyadari bahwa ia dan perilakunya adalah bagian dari alam dan lingkungan
yang saling mempengaruhi.
b) Penegakan hukum dan keteladanan
Pelanggaran atas tindakan manusia yang merusak lingkungan harus mendapat
ganjaran. Penegakan hukum lingkungan menjadi bagian yang penting guna
menjaga kelestarian lingkungan, dan memberi efek jera bagi yang melanggar.
Penegakan hukum tidak memandang strata sosial masyarakat. Selain itu
adalah panutan dan ketokohan seseorang memegang peranan penting. Mereka
yang memiliki pemahaman yang lebih baik (berpendidikan) terhadap
lingkungan hidup hendaknya berperan memberi contoh dan sikap lingkungan
yang baik pula kepada masyarakat. Misalnya, kita masih menemukan kasus
peran beberapa aparat pemerintah dibalik kerusakan hutan, baik dengan
memberikan modal maupun perlindungan bagi perambah hutan.
c) Keterpaduan
Seluruh elemen masyarakat harus mendukung upaya pelestarian lingkungan
dan sumberdaya alam serta penegakan hukumnya. Upaya ini harus dilakukan
secara komprehensif dan lintas sektor. Misalnya, untuk mengatasi emisi gasgas rumah kaca akibat peningkatan jumlah kendaraan di Kota Jakarta, harus
di atas secara bersama dengan daerah sekitar seperti Bogor, Depok, Bekasi,
dan Tangerang. Karena pekerja yang menggunakan kendaraan bermotor
setiap hari masuk ke kota Jakarta bermukim di empat kota tersebut. Demikian
halnya mengatasi banjir di Kota Gorontalo, misalnya, tidak dapat diatasi
dengan perbaikan fasilitas lingkungan dan membina kesadaran penduduk
kota, tetapi secara menyeluruh dengan masyarakat di wilayah lain (hulu dan
DAS) yang memberi kontribusi terhadap bencana banjir. Masyarakat dan
pemerintah daerah terdekat seperti Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten
Gorontalo turut bertanggungjawab dalam upaya penanggulangan banjir di
Kota Gorontalo. Secara geografis, terdapat daerah aliran sungai dimana dua
sungai besar yang melewati dan bermuara di kota ini. Karena itu bencana
alam dan kerusakan lingkungan tidak dapat dipilah menurut wilayah
administratif semata, tetapi bersifat area geografis-ekologis.
d) Mengubah pola pikir dan sikap
Faktor-faktor lingkungan fisik, mahluk hidup lain dan manusia memiliki
peran masing-masing dalam lingkungan hidup. Manusia sebagai mahluk yang
diberi kemampuan logika harus mampu memandang kepentingan hidupnya
terkait dengan kehidupan mahluk hidup lain beserta kejadian proses-proses
alam. Sikap dan perilaku manusia terhadap alam cepat atau lambat memberi
berdampak pada lingkungan hidupnya. Peduli terhadap lingkungan pada
dasarnya merupakan sikap dan perilaku bawaan manusia. Akan tetapi
munculnya ketidak pedulian manusia adalah pikiran atau persepsi yang
berbeda-beda ketika manusia berhadapan dengan masalah lingkungan.
Manusia harus memandang bahwa dirinya adalah bagian dari unsur ekosistem
dan lingkungannya. Naluri untuk mempertahankan hidup akan memberi
motivasi bagi manusia untuk melestarikan ekosistem dan lingkungannya.
e) Etika lingkungan
Kecintaan dan kearifan kita terhadap lingkungan menjadi filosofi kita tentang
lingkungan hidup. Apa pun pemahaman kita tentang lingkungan hidup dan
sumber daya, kita harus bersikap dan berperilaku arif dalam kehidupan.
Dalam wujud budaya tradisional, kearifan lokal melahirkan etika dan norma
kehidupan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam dan
lingkungannya. Selama masyarakat masih menghormati budaya tradisional
yang memiliki etika dan nilai moral terhadap lingkungan alamnya, maka
konservasi sumber daya alam dan lingkungan menjadi hal yang mutlak.
Dalam kehidupan masyarakat demikian, etika lingkungan tidak tampak secara
teoretik tetapi menjadi pola hidup dan budaya yang dipelihara oleh setiap
generasi. Etika lingkungan akan berdaya guna jika muncul dalam tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Rujukan
Ammann, Caspar, et al. (2007). "Solar influence on climate during the past
millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate
Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America 104 (10): 3713-3718.
Anonimous, 2004. Temperatur Rata-rata Global 1860 sampai 2000. tersedia dalam
http//id.wikipedia.org/wiki. Pemanasan_Global#search column-one
Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare,
J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl,
D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S.
Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone."
Science 316: 567-570.
Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12). URL
diakses pada 11-11-2008
Gleason, Karen K., Simon Karecki, and Rafael Reif (2007). Climate Classroom;
What’s up with global warming?, National Wildlife Federation. URL diakses
22-01-2008
Hegerl, Gabriele C. et al. Understanding and Attributing Climate Change. Climate
Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I
to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. URL diakses pada 10-
11-2008
Marsh, Nigel, Henrik, Svensmark (2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" Space
Science Reviews 94: 215-230. URL diakses pada 11-11-2008.
Scafetta, Nicola, West, Bruce J. (2006). "Phenomenological solar contribution to the
1900-2000 global surface warming". Geophysical Research Letters 33 (5).
URL diakses pada 10-11-2008.
Soden, Brian J., Held, Isacc M. (2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in
Coupled Ocean-Atmosphere Models". Journal of Climate 19(14). URL
diakses pada 10-11-2008.
Stocker, Thomas F.; et al. Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific Basis.
Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on
Climate Change. URL diakses pada 11-11-2008
Stott, Peter A., et al. (2003). "Do Models Underestimate the Solar Contribution to
Recent Climate Change?". Journal of Climate 16 (24): URL diakses pada 10-
11-2008.
Summary for Policymakers. Climate Change 2007: The Physical Sciences Basis,
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on
Climate Change. URL diakses pada 10-11-2008
Dampak dan Upaya Meminimalisasinya
Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan
ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu rata-rata di
permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C. Meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca,
seperti; karbondioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon,
dan sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini terutama dihasilkan dari proses
pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta akibat
penggundulan dan pembakaran hutan.
Pemanasan global diperkirakan telah menyebabkan perubahan-perubahan
sistem terhadap ekosistem di bumi, antara lain; perubahan iklim yang ekstrim,
mencairnya es sehingga permukaan air laut naik, serta perubahan jumlah dan pola
presipitasi. Adanya perubahan sistem dalam ekosistem ini telah memberi dampak
pada kehidupan di bumi seperti terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan
punahnya berbagai jenis hewan.
Efek rumah kaca sebagai suatu sistem di bumi sangat dibutuhkan oleh
makhluk hidup di bumi. Suhu atmosfer bumi akan menjadi lebih dingin jika tanpa
efek rumah kaca. Tetapi, jika efek rumah kaca berlebihan dibandingkan dengan
kondisi normalnya maka sistem tersebut akan bersifat merusak. Melihat sebagian
besar emisi gas rumah kaca bersumber dari aktivitas hidup manusia, maka pemanasan
global harus ada upaya solusinya dengan merubah pola hidup dan perilaku
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini diharapkan dapat memberi wawasan dan pengetahuan bagi
masyarakat tentang apa dan bagaimana terjadinya pemanasan global, serta bagaimana
perilaku masyarakat yang diharapkan dalam upaya meminimalisasi efek terjadinya
pemanasan global.
Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama
yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungann dengan proses
meningkatnya RPeningkatan suhu permukaan bumi ini
dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian
sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah
diserap oleh udara dan permukaan bumi.
Sebagian sinar infra merah dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap
oleh gas-gas rumah kaca yang kemudian menyebabkan suhu bumi meningkat. Gasgas rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida.
Kontribusi besar yang mengakibatkan akumulasi gas-gas kimia ini di atmosfir adalah
aktivitas manusia. Temperatur global rata-rata setiap tahun dan lima tahunan tampak
meningkat, seperti pada diagram berikut (Anonim, 2004).
Penyebab Pemanasan Global
Efek rumah kaca
Proses terjadinya efek rumah kaca dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
Dalam rumah kaca (greenhouse) yang digunakan dalam budidaya terutama di negara
yang mengalami musim salju, atau percobaan tanaman dalam bidang biologi dan
pertanian, energi matahari (panas) yang masuk melalui atap kaca sebagian dipantulkan keluar atmosfer dan sebagian lainnya terperangkap di dalam greenhouse
sehingga menaikkan suhu di dalamnya. Gambar berikut menunjukkan bagaimana
terjadinya efek rumah kaca (Gealson,2007).
Contoh lain yang dapat mengilustrasikan kejadian efek rumah kaca adalah, ketika kita
berada dalam mobil dengan kaca tertutup yang sedang parkir di bawah terik matahari.
Panas yang masuk melalui kaca mobil, sebagian dipantulkan kembali ke luar melalui
kaca tetapi sebagian lainnya terperangkap di dalam ruang mobil. Akibatnya suhu di
dalam ruang lebih tinggi (panas) daripada di luarnya (Gealson,2007).
Matahari merupakan sumber energi utama dari setiap sumber energi yang
terdapat di bumi. Energi matahari sebagian terbesar dalam bentuk radiasi gelombang
pendek, termasuk cahaya tampak. Energi ini mengenai permukaan bumi dan berubah
dari cahaya menjadi panas. Permukaan bumi kemudian menyerap sebagian panas
sehingga menghangatkan bumi, dan sebagian dipantulkannya kembali ke luar
angkasa. Menumpuknya jumlah gas rumah kaca seperti uap air, karbon dioksida, dan
metana di atmosfer mengakibatkan sebagian dari panas ini dalam bentuk radiasi infra
merah tetap terperangkap di atmosfer bumi, kemudian gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan oleh permukaan bumi.
Akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Kondisi ini dapat
terjadi berulang sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gambar berikut menunjukkan bagaimana terjadinya pemanasan global (Gealson,2007).
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca pada atap rumah kaca. Makin
meningkat konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin besar pula efek panas yang
terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada
di bumi, karena tanpa efek rumah kaca planet bumi akan menjadi sangat dingin lebih
kurang -18°C, sehingga sekuruh permukaan bumi akan tertutup lapiesan es. Dengan
temperatur rata-rata sebesar 15°C, bumi sebenarnya telah lebih panas 33°C dengan
efek rumah kaca. Akan tetapi jika gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, maka
akan terjadi sebaliknya dan mengakibatkan pemanasan global.
Efek balik
Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses efek balik
yang dihasilkannya, seperti pada penguapan air. Pada awalnya pemanasan akan lebih
meningkatkan banyaknya uap air di atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas
rumah kaca, maka pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di
udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Keadaan ini
menyebabkan efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh
akibat gas CO2 itu sendiri. Peristiwa efek balik ini dapat meningkatkan kandungan air
absolut di udara, namun kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak
menurun karena udara menjadi menghangat. Karena usia CO2 yang panjang di
atmosfer maka efek balik ini secara perlahan dapat dibalikkan (Soden and Held,
2005).
Selain penguapan, awan diduga menjadi efek balik. Radiasi infra merah akan
dipantulkan kembali ke bumi oleh awan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sementara awan tersebut akan memantulkan pula sinar Matahari dan
radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Secara
detail hal ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam
model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke 4). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada
peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif
(menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat (Soden and Held, 2005).
Efek balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya oleh es. Lapisan es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan
yang terus meningkat ketika temperatur global meningkat. Bersamaan dengan
mencairnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Daratan maupun
air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan
dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Kejadian ini
akan menambah faktor penyebab pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es
yang mencair, sehingga menjadi suatu siklus yang berkelanjutan (Thomas, 2001).
Faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap pemanasan global adalah efek
balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku
(permafrost). Selain itu, es yang mencair juga akan melepas CH4 yang juga dapat
menimbulkan umpan balik positif.
Laut memiliki kemampuan ekologis untuk menyerap karbon di atmosfer.
Fitoplankton mampu menyerap karbon guna kelangsungan proses fotosintesis. Tetapi
kemampuan ini akan berkurang jika laut menghangat yang diakibatkan oleh
menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan
diatom daripada fitoplankton (Buesseler, et al, 2007).
Variasi matahari
Pemanasan global dapat pula diakibatkan oleh variasi matahari. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa variasi dari Matahari yang diperkuat oleh umpan balik
dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini (Marsh and Henrik,
2000). Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca
adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer, sebaliknya efek
rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah
paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas
Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga
dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai
akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas
gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri
hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950 (Hegerl, et al. 2007,
Ammann, et al, 2007).
Hasil penelitian menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah
diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University
mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50%
peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-
35% antara tahun 1980 dan 2000 (Scafetta and West, 2006). Selanjutnya menurut Stott (2003) bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi
berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh
Matahari, mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik
dan aerosol sulfat juga tidak diperhitungkan. Walaupun demikian, mereka
menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap
pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekadedekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 menurut
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan 2100.
Dengan menggunakan model iklim, perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa
mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian
besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka
air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun
tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas
dari lautan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan
serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia
mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau
membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi
yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani
dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas
rumah kaca.
Protokol ini mengharuskan negara-negara industri untuk menurunkan
emisinya sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 dengan target waktu
hingga 2012 dan baru memperoleh kekuatan hukumnya secara internasional pada
tanggal 16 Februari 2005. Hingga 23 Oktober 2007 sudah 179 negara yang
meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Kemudian pada tanggal 3-14 Desember 2007 di
Bali diselenggarakanlah Konvensi Tingkat Tinggi yang digelar oleh UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change) dan dihadiri hampir 10
ribu orang dari 185 negara. Melalui pertemuan tersebut diharapkan dapat
mengevaluasi hasil kinerja dari Protokol Kyoto yang dibuat sebagai bukti komitmen
negara-negara sedunia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca demi
menanggulangi permasalahan yang terjadi saat ini.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang
merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mencairnya lapisan es di kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini mengakibatkan
naiknya permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir
terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi,
dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi. Jika ini terjadi terus
menerus maka akibatnya dapat mengancam sendi kehidupan masyarakat.
2. Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim
menyebabkan musim sulit diprediksi. Petani tidak dapat memprediksi perkiraan
musim tanam akibat musim yang juga tidak menentu. Akibat musim tanam yang
sulit diprediksi dan musim penghujan yang tidak menentu maka musim produksi
panen juga demikian. Hal ini berdampak pada masalah penyediaan pangan bagi
penduduk, kelaparan, lapangan kerja bahkan menimbulkan kriminal akibat
tekanan tuntutan hidup.
3. Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas toleransi terhadap
suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global
menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada
pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi
ini pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
4. Habitat hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembaban dan
produktivitas primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk
menemukan habitat baru yang sesuai. Migrasi burung akan berubah disebabkan
perubahan musim, arah dan kecepatan angin, arus laut (yang membawa nutrien
dan migrasi ikan).
5. Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
6. Ketinggian gunung-gunung tinggi berkurang akibat mencairnya es pada
puncaknya.
7. Perubahan tekanan udara, suhu, kecepatan dan arah angin menyebabkan
terjadinya perubahan arus laut. Hal ini dapat berpegaruh pada migrasi ikan,
sehingga memberi dampak pada hasil perikanan tangkap.
8. Berubahnya habitat memungkinkan terjadinya perubahan terhadap resistensi
kehidupan larva dan masa pertumbuhan organisme tertentu, kondisi ini tidak
menutup kemungkinan adanya pertumbuhan dan resistensi organisme penyebab
penyakit tropis. Jenis-jenis larva yang berubah resistensinya terhadap perubahan
musim dapat meningkatkan penyebaran organisme ini lebih luas. Ini
menimbulkan wabah penyakit yang dianggap baru.
9. Mengancam kerusakan terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang yang
ada di enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua Nugini, Timor Leste, dan Philipina. Dikhawatirkan merusak kehidupan
masyarakat lokal yang berada di sekitarnya. Masyarakat lokal yang pertama kali
menjadi korban akibat kerusakan terumbu karang ini. Untuk menyelamatkan
kerusakan terumbu karang akibat pemanasan global ini, maka para aktivis
lingkungan dari enam negara tersebut telah merancang protokol adaptasi
penyelamatan terumbu karang. Lebih dari 50 persen spesies terumbu karang
dunia hidup berada di kawasan segitiga ini. Berdasarkan data Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), sebanyak 30 persen terumbu karang dunia telah
mati akibat badai el nino pada 1998 lalu. Diprediksi, pada 10 tahun ke depan akan
kembali terjadi kerusakan sebanyak 30 persen.
Meminimalisasi Dampak Pemanasan Global
1. Konservasi lingkungan, dengan melakukan penanaman pohon dan penghijauan di
lahan-lahan kritis. Tumbuhan hijau memiliki peran dalam proses fotosintesis,
dalam proses ini tumbuhan memerlukan karbondioksida dan menghasilkan
oksigen. Akumulasi gas-gas karbon di atmosfer dapat dikurangi.
2. Menggunakan energi yang bersumber dari energi alternatif guna mengurangi
penggunaan energi bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara). Emisi gas
karbon yang terakumulasi ke atmosfer banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan
bakar fosil. Kita mengenal bahwa paling banyak mesin-mesin kendaraan dan
industri digerakkan oleh mesin yang menggunakan bahan bakar ini. Karena itu
diupayakan sumber energi lain yang aman dari emisi gas-gas ini, misalnya;
menggunakan energi matahari, air, angin, dan bioenergy. Di daerah tropis yang
kaya akan energi matahari diharapkan muncul teknologi yang mampu
menggunakan energi ini, misalnya dengan mobil tenaga surya, listrik tenaga
surya. Sekarang ini sedang dikembangkan bioenergy, antara lain biji tanaman
jarak (Jathropa. sp) yang menghasilkan minyak.
3. Daur ulang dan efisiensi energi. Penggunaan minyak tanah untuk menyalakan
kompor di rumah, menghasilkan asap dan jelaga yang mengandung karbon.
Karena itu sebaiknya diganti dengan gas. Biogas menjadi hal yang baik dan perlu
dikembangkan, misalnya dari sampah organik.
4. Upaya pendidikan kepada masyarakat luas dengan memberikan pemahaman dan
penerapan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Dimensi manusia
Manusia berperan sebagai pengguna-perusak-pelestari alam. Manusia harus
diberi kesadaran akan pentingnya alam bagi kehidupannya. Alam memiliki
keterbatasan dibanding kemampuan manusia dalam mengeksploatasi alam.
Manusia memanfaatkan alam guna memperoleh sumber makanan dan
kebutuhan sosial lainnya, tetapi disadari atau tidak tindakannya dapat
berakibat kerusakan faktor-faktor ekologis. Karena itu manusia harus
menyadari bahwa ia dan perilakunya adalah bagian dari alam dan lingkungan
yang saling mempengaruhi.
b) Penegakan hukum dan keteladanan
Pelanggaran atas tindakan manusia yang merusak lingkungan harus mendapat
ganjaran. Penegakan hukum lingkungan menjadi bagian yang penting guna
menjaga kelestarian lingkungan, dan memberi efek jera bagi yang melanggar.
Penegakan hukum tidak memandang strata sosial masyarakat. Selain itu
adalah panutan dan ketokohan seseorang memegang peranan penting. Mereka
yang memiliki pemahaman yang lebih baik (berpendidikan) terhadap
lingkungan hidup hendaknya berperan memberi contoh dan sikap lingkungan
yang baik pula kepada masyarakat. Misalnya, kita masih menemukan kasus
peran beberapa aparat pemerintah dibalik kerusakan hutan, baik dengan
memberikan modal maupun perlindungan bagi perambah hutan.
c) Keterpaduan
Seluruh elemen masyarakat harus mendukung upaya pelestarian lingkungan
dan sumberdaya alam serta penegakan hukumnya. Upaya ini harus dilakukan
secara komprehensif dan lintas sektor. Misalnya, untuk mengatasi emisi gasgas rumah kaca akibat peningkatan jumlah kendaraan di Kota Jakarta, harus
di atas secara bersama dengan daerah sekitar seperti Bogor, Depok, Bekasi,
dan Tangerang. Karena pekerja yang menggunakan kendaraan bermotor
setiap hari masuk ke kota Jakarta bermukim di empat kota tersebut. Demikian
halnya mengatasi banjir di Kota Gorontalo, misalnya, tidak dapat diatasi
dengan perbaikan fasilitas lingkungan dan membina kesadaran penduduk
kota, tetapi secara menyeluruh dengan masyarakat di wilayah lain (hulu dan
DAS) yang memberi kontribusi terhadap bencana banjir. Masyarakat dan
pemerintah daerah terdekat seperti Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten
Gorontalo turut bertanggungjawab dalam upaya penanggulangan banjir di
Kota Gorontalo. Secara geografis, terdapat daerah aliran sungai dimana dua
sungai besar yang melewati dan bermuara di kota ini. Karena itu bencana
alam dan kerusakan lingkungan tidak dapat dipilah menurut wilayah
administratif semata, tetapi bersifat area geografis-ekologis.
d) Mengubah pola pikir dan sikap
Faktor-faktor lingkungan fisik, mahluk hidup lain dan manusia memiliki
peran masing-masing dalam lingkungan hidup. Manusia sebagai mahluk yang
diberi kemampuan logika harus mampu memandang kepentingan hidupnya
terkait dengan kehidupan mahluk hidup lain beserta kejadian proses-proses
alam. Sikap dan perilaku manusia terhadap alam cepat atau lambat memberi
berdampak pada lingkungan hidupnya. Peduli terhadap lingkungan pada
dasarnya merupakan sikap dan perilaku bawaan manusia. Akan tetapi
munculnya ketidak pedulian manusia adalah pikiran atau persepsi yang
berbeda-beda ketika manusia berhadapan dengan masalah lingkungan.
Manusia harus memandang bahwa dirinya adalah bagian dari unsur ekosistem
dan lingkungannya. Naluri untuk mempertahankan hidup akan memberi
motivasi bagi manusia untuk melestarikan ekosistem dan lingkungannya.
e) Etika lingkungan
Kecintaan dan kearifan kita terhadap lingkungan menjadi filosofi kita tentang
lingkungan hidup. Apa pun pemahaman kita tentang lingkungan hidup dan
sumber daya, kita harus bersikap dan berperilaku arif dalam kehidupan.
Dalam wujud budaya tradisional, kearifan lokal melahirkan etika dan norma
kehidupan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam dan
lingkungannya. Selama masyarakat masih menghormati budaya tradisional
yang memiliki etika dan nilai moral terhadap lingkungan alamnya, maka
konservasi sumber daya alam dan lingkungan menjadi hal yang mutlak.
Dalam kehidupan masyarakat demikian, etika lingkungan tidak tampak secara
teoretik tetapi menjadi pola hidup dan budaya yang dipelihara oleh setiap
generasi. Etika lingkungan akan berdaya guna jika muncul dalam tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Rujukan
Ammann, Caspar, et al. (2007). "Solar influence on climate during the past
millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate
Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America 104 (10): 3713-3718.
Anonimous, 2004. Temperatur Rata-rata Global 1860 sampai 2000. tersedia dalam
http//id.wikipedia.org/wiki. Pemanasan_Global#search column-one
Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare,
J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl,
D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S.
Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone."
Science 316: 567-570.
Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12). URL
diakses pada 11-11-2008
Gleason, Karen K., Simon Karecki, and Rafael Reif (2007). Climate Classroom;
What’s up with global warming?, National Wildlife Federation. URL diakses
22-01-2008
Hegerl, Gabriele C. et al. Understanding and Attributing Climate Change. Climate
Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I
to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. URL diakses pada 10-
11-2008
Marsh, Nigel, Henrik, Svensmark (2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" Space
Science Reviews 94: 215-230. URL diakses pada 11-11-2008.
Scafetta, Nicola, West, Bruce J. (2006). "Phenomenological solar contribution to the
1900-2000 global surface warming". Geophysical Research Letters 33 (5).
URL diakses pada 10-11-2008.
Soden, Brian J., Held, Isacc M. (2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in
Coupled Ocean-Atmosphere Models". Journal of Climate 19(14). URL
diakses pada 10-11-2008.
Stocker, Thomas F.; et al. Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific Basis.
Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on
Climate Change. URL diakses pada 11-11-2008
Stott, Peter A., et al. (2003). "Do Models Underestimate the Solar Contribution to
Recent Climate Change?". Journal of Climate 16 (24): URL diakses pada 10-
11-2008.
Summary for Policymakers. Climate Change 2007: The Physical Sciences Basis,
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on
Climate Change. URL diakses pada 10-11-2008
Rabu, 09 Oktober 2019
PENGUKURAN CAHAYA MENGGUNAKAN LUX METER DI RUANG BELAJAR
Gambar (1)Hasil Pengukuran menggunakan lux saat belajar
Gambar (2) dan (3) menggambarkan keadaan cahaya yang menerangi ruangan saat sedang belajar
Rabu, 02 Oktober 2019
TUGAS : PENGOLAHAN TANAH AKIBAT TSUNAMI
Air diserap oleh akar tanaman melalui suatu proses yang disebut osmosis, yang
melibatkan pergerakan air dari tempat dengan konsentrasi garam
1
rendah (contohnya
tanah) ke tempat yang memiliki konsentrasi garam tinggi (contohnya bagian dalam dari
sel-sel akar). Jika konsentrasi garam di dalam tanah tinggi, pergerakan air dari tanah ke
akar melambat. Jika konsentrasi garam pada tanah lebih tinggi dibandingkan dengan di
dalam sel-sel akar, tanah akan menyerap air dari akar, dan tanaman akan layu dan mati.
Ini merupakan prinsip dasar bagaimana salinisasi mempengaruhi produksi tanaman.
Pengaruh yang merusak dari garam pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh daya
osmosis, tetapi juga oleh sodium (Na
+
) and klor (Cl
-
) pada konsentrasi yang meracun
tanaman. Khususnya tanaman buah-buahan dan tanaman hias dari jenis kayu-kayuan
(bougenvil, kembang sepatu, dll) sangat sensitif terhadap kadar yang tinggi dari
unsur-unsur tersebut. Demikian juga, tingginya nilai pH (ukuran untuk keseimbangan
asam/basa) yang disebabkan oleh konsentrasi sodium yang tinggi akan berakibat pada
kekurangan unsur mikro.
Tingkat sensitivitas tanaman terhadap kadar garam bervariasi. Jenis tanaman dengan
toleransi terhadap garam yang paling rendah adalah tomat, bawang bombai terhadap
garam dan selada. Pada tingkat ekstrim yang lain adalah halophytes, yang paling sering
dijumpai di rawa-rawa bergaram, daerah pantai, dan lingkungan bergaram lainnya.
Salinisasi tanah adalah masalah yang umum dijumpai di daerah-daerah dengan curah
hujan rendah. Jika dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase yang buruk,
dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen. Tipe salinitas seperti
ini merupakan faktor penyebab krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh kekeringan.
Sementara salinisasi tanah yang muncul sebagai akibat dari bencana alam yang terjadi
dalam waktu singkat, sampai saat ini terbatas hanya disebabkan oleh tsunami.Garam mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang
diakibatkan penyerapan unsur penyusun garam secara berlebihan, seperti sodium,
(b) penurunan penyerapan air, dikenal sebagai cekaman air dan (c) penurunan dalam
penyerapan unsur-unsur penting bagi tanaman khususnya potasium. Gejala awal
munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah (a) warna daun yang menjadi
lebih gelap daripada warna normal yang hijau-kebiruan, (b) ukuran daun yang
lebih kecil dan (c) batang dengan jarak tangkai daun yang lebih pendek. Jika
permasalahannya menjadi lebih parah, daun akan (a) menjadi kuning (klorosis) dan
(b) tepi daun mati mengering terkena “burning” (terbakar, menjadi kecoklatan).
Benar bahwa selama terjadinya tsunami air laut membawa garam ke permukaan
tanah, akan tetapi sebagian besar lahan tergenang dalam waktu yang relatif singkat,
dan sebagian besar garam akan –atau telah- tercuci oleh hujan yang sering terjadi.
Dari survei yang baru-baru ini dilakukan oleh FAO ditemukan bahwa
lapisan-lapisan liat atau debu hasil darin gelombang tsunami justru mengandung
residu garam yang tinggi. Lapisan liat atau debu tersebut sangat mudah
diidentifikasi dari retakan-retakan yang menyebar di seluruh permukaan tanah. Di
sebagian besar tempat, setelah digali sampai kurang lebih sedalam 20 cm dijumpai
lapisan keabuan yang masih jelas.Satu pilihan yang efektif untuk mempercepat pencucian garam adalah
menghancurkan lapisan permukaan dengan pengolahan tanah, baik dengan atau
tanpa mencampur bagian permukaan tersebut dengan tanah di bawahnya. Untuk
lahan kering, hal ini akan meningkatkan perkolasi. Untuk lahan sawah,
pencampuran akan secara aktif melepaskan garam ke dalam air, yang kemudian
harus dibuang dengan cara penggelontoran permukaan. Pada kawasan sawah
tadah-hujan, ini dapat dilakukan selama musim kemarau ketika tanah lebih keras
dan pekerjaannya menjadi lebih mudah, antara lain untuk membantu proses
pencucian pada saat musim hujan berikutnya mulai.
melibatkan pergerakan air dari tempat dengan konsentrasi garam
1
rendah (contohnya
tanah) ke tempat yang memiliki konsentrasi garam tinggi (contohnya bagian dalam dari
sel-sel akar). Jika konsentrasi garam di dalam tanah tinggi, pergerakan air dari tanah ke
akar melambat. Jika konsentrasi garam pada tanah lebih tinggi dibandingkan dengan di
dalam sel-sel akar, tanah akan menyerap air dari akar, dan tanaman akan layu dan mati.
Ini merupakan prinsip dasar bagaimana salinisasi mempengaruhi produksi tanaman.
Pengaruh yang merusak dari garam pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh daya
osmosis, tetapi juga oleh sodium (Na
+
) and klor (Cl
-
) pada konsentrasi yang meracun
tanaman. Khususnya tanaman buah-buahan dan tanaman hias dari jenis kayu-kayuan
(bougenvil, kembang sepatu, dll) sangat sensitif terhadap kadar yang tinggi dari
unsur-unsur tersebut. Demikian juga, tingginya nilai pH (ukuran untuk keseimbangan
asam/basa) yang disebabkan oleh konsentrasi sodium yang tinggi akan berakibat pada
kekurangan unsur mikro.
Tingkat sensitivitas tanaman terhadap kadar garam bervariasi. Jenis tanaman dengan
toleransi terhadap garam yang paling rendah adalah tomat, bawang bombai terhadap
garam dan selada. Pada tingkat ekstrim yang lain adalah halophytes, yang paling sering
dijumpai di rawa-rawa bergaram, daerah pantai, dan lingkungan bergaram lainnya.
Salinisasi tanah adalah masalah yang umum dijumpai di daerah-daerah dengan curah
hujan rendah. Jika dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase yang buruk,
dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen. Tipe salinitas seperti
ini merupakan faktor penyebab krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh kekeringan.
Sementara salinisasi tanah yang muncul sebagai akibat dari bencana alam yang terjadi
dalam waktu singkat, sampai saat ini terbatas hanya disebabkan oleh tsunami.Garam mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang
diakibatkan penyerapan unsur penyusun garam secara berlebihan, seperti sodium,
(b) penurunan penyerapan air, dikenal sebagai cekaman air dan (c) penurunan dalam
penyerapan unsur-unsur penting bagi tanaman khususnya potasium. Gejala awal
munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah (a) warna daun yang menjadi
lebih gelap daripada warna normal yang hijau-kebiruan, (b) ukuran daun yang
lebih kecil dan (c) batang dengan jarak tangkai daun yang lebih pendek. Jika
permasalahannya menjadi lebih parah, daun akan (a) menjadi kuning (klorosis) dan
(b) tepi daun mati mengering terkena “burning” (terbakar, menjadi kecoklatan).
Benar bahwa selama terjadinya tsunami air laut membawa garam ke permukaan
tanah, akan tetapi sebagian besar lahan tergenang dalam waktu yang relatif singkat,
dan sebagian besar garam akan –atau telah- tercuci oleh hujan yang sering terjadi.
Dari survei yang baru-baru ini dilakukan oleh FAO ditemukan bahwa
lapisan-lapisan liat atau debu hasil darin gelombang tsunami justru mengandung
residu garam yang tinggi. Lapisan liat atau debu tersebut sangat mudah
diidentifikasi dari retakan-retakan yang menyebar di seluruh permukaan tanah. Di
sebagian besar tempat, setelah digali sampai kurang lebih sedalam 20 cm dijumpai
lapisan keabuan yang masih jelas.Satu pilihan yang efektif untuk mempercepat pencucian garam adalah
menghancurkan lapisan permukaan dengan pengolahan tanah, baik dengan atau
tanpa mencampur bagian permukaan tersebut dengan tanah di bawahnya. Untuk
lahan kering, hal ini akan meningkatkan perkolasi. Untuk lahan sawah,
pencampuran akan secara aktif melepaskan garam ke dalam air, yang kemudian
harus dibuang dengan cara penggelontoran permukaan. Pada kawasan sawah
tadah-hujan, ini dapat dilakukan selama musim kemarau ketika tanah lebih keras
dan pekerjaannya menjadi lebih mudah, antara lain untuk membantu proses
pencucian pada saat musim hujan berikutnya mulai.
Sabtu, 28 September 2019
METODE MENGATASI PENCEMARAN TANAH 3
Daur ulang
Daur ulang ini diperuntukkan bagi sampah- sampah non organik agar dapat mengurangi polutan di tanah. Daur ulang sampah plastik misalnya, dapat diubah menjadi berbagai barang yang bermanfaat bagi kehidupan sehari- hari.
Rehabilitasi kerusakan sifat fisik tanah
Kerusakan sifat fisik tanah pada umumnya diakibatkan oleh memburuknya struktur tanah. Penurunan kualitas kestabilan agregat tanah ini diiringi oleh penurunan kandungan bahan- bahan organik dan jumlah mikroorganisme tanah. Untuk memperbaikinya dapat dilakukan peningkatan kandungan bahan organik tanah melalui dedaunan kering dan peningkatan keanekaragaman tanaman untuk memperbaiki sistem persebaran peakaran.
Rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi tanah
Kerusakan kimia dan biologi pada tanah ditandai dengan penurunan kandungan bahan organik dan kenaikan kadar asam tanah. Tindakan perbaikan pada tanah ini dilakukan dengan cara pemberian jerami dan zat kapur. Pemberian jerami dapat meningkatkan aktivitas mikroba yang dapat membusukkan bahan- bahan tanah dan juga menghasilkan bahan organik. Sementara pemberian zat kapur dapat membantu menetralisir kadar asam yang ada di dalam tanah.
Pemanfaatan kantong plastik berbahan dasar ampas singkong
Plastik yang sulit terurai merupakan permasalahan lingkungan yang membutuhkan perhatian khusus. Salah satu perbedaan plastik berbahan dasar ampas singkong dengan plastik biasa dalam proses bio-degradasinya yaitu, plastik singkong bisa tenggelam dalam air. Begitu tenggelam akan dimakan mikroorganisme, dan hilang kurang dari 60 hari. Sementara plastik biasa akan mengapung dan bisa menyumbat saluran air. Sama halnya juga pada permukaan tanah, plastik berbahan dasar singkong juga mudah terurai di dalam tanah dan tidak membunuh organisme dan mikroorganisme dalam tanah.
A. Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Hal yang perlu diketahui sebelum dilakukan remidiasi adalah sebagai berikut:
Jenis pencemar (organic atau anorganik), terdegradasi/tidak, berbahaya/tidak,
Berapa banyak zat pencemar yang telah mencemari tanah tersebut,
Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan Fosfat (P),
Jenis tanah,
Kondisi tanah (basah, kering),
Telah berapa lama zat pencemar terendapkan di lokasi tersebut,
Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).
Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
B. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Jenis jenis biomerasi
• Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
• Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
• Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi :
a) Stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi ph, dsb
b) Inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus
c) Penerapan immobilized enzymes
d) Penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.
Proses Biomerasi
Transformasi kimia dari bahan pencemar pestisida melalui proses bioremediasi ini meliputi beberapa proses, yaitu
1) Detoksikasi, yaitu konversi dari molekul yang bersifat toksik menjadi produk yangtidak bersifat toksik.
2) Degradasi, yaitu transformasi dari substrat kompleks menjadi produk yang lebih sederhana.
3) Konjugasi, yaitu pembentukan senyawa kompleks, atau reaksi penambahan, dimana suatu organisme dapat menghasilkan substrat yang lebih kompleks dan mengkombinasikannya dengan pestisida dengan sel metabolis. Konjugasi atau pembentukan senyawa pengkompleks dapat dihasilkan dari organisme yang menghasilkan suatu asam amino, asam organik, methyl atau senyawa lain yang bereaksi dengan polutan membentuk substrat lainnya. Konjugasi adalah salah satu bentuk bioremediasi dari metabolisme mikroorganisme terhadap fungisida sodium dimethyldithiocarbamate, dimana mikroorganisme mengkompleks pestisida dengan asam amino pada sel.
4) Aktivasi, yaitu konversi substrat yang nontoksik menjadi molekul toksik seperti bahan aktif awal dari pestisida. Sebagai contoh, herbisida 4- (2,4-dichlorophenoxy) butyric acid ditransformasi dan diaktivasi oleh mikroorganisme dalam tanah menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap gulma dan serangga. Proses aktivasi ini lebih menekankan pada efisiensi penggunaan pestisida, atau aktivasi residu.
5) Proses defusi, yaitu konversi molekul nontoksik berasal dari pestisida yang sedang dalam proses aktivasi secara enzimatik, menjadi produk nontoksik yang tidak lagi dalam proses enzimatik.
6) Perubahan spektrum toksisitas. Contoh bioremediasi bagi lingkungan yang tercemar minyak bumi. Yang pertama dilakukan adalah mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah yang mengalami pencemaran tersebut. Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang dan akhirnya hilang, inilah yang disebut sistem bioremediasi.
Manfaat Biomerasi
1) Bidang Lingkungan
Pengolahan limbah yang ramah lingkungan dan bahkan mengubah limbah tersebut menjadi ramah lingkungan. Contoh bioremediasi dalam lingkungan yakni telah membantu mengurangi pencemaran dari pabrik, misalnya saat 1979, supertanker Exxon Valdez di Alaska, lebih dari 11juta gallon oli mentah mengalir, tetapi bakteri pemakan oli membantu mengurangi pencemaran laut yang lebih jauh lagi.
2) Bidang Industri
Bioremediasi telah memberikan suatu inovasi baru yang membangkitkan semangat industri sehingga terbentuklah suatu perusahaan yang khusus bergerak dibidang bioremediasi, contohnya adalah Regenesis Bioremediation Products, Inc., di San Clemente, Calif.
3) Bidang Ekonomi
Bioremediasi menggunakan bahan bahan alami yang hasilnya ramah lingkungan, sedangkan mesin-mesin yang digunakan dalam pengolahan limbah memerlukan modal dan biaya yang jauh lebih, sehingga bioremediasi memberikan solusi ekonomi yang lebih baik.
4) Bidang Pendidikan
Penggunaan microorganisme dalam bioremediasi, dapat membantu penelitian terhadap mikroorganisme yang masih belum diketahui secara jelas.Pengetahuan ini akan memberikan sumbangan yang besar bagi dunia pendidikan sains.
5) Bidang Teknologi
Bioremediasi memberikan tantangan baru bagi teknologi untuk terus memberikan inovasi yang lebih baik bagi lingkungan.
6) Bidang Sosial
Bioremediasi memberikan solusi ekonomi yang mudah dijangkau dan mudah dilakukan baik bagi rumah tangga dan industri. Dengan begini, limbah rumah tangga dapat dikelola jauh lebih baik.
7) Bidang Kesehatan
Dengan pengelolaan limbah yang baik, pencemaran dapat diminimalisir sehingga kualitas hidup manusia jauh meningkat.
8) Bidang Politik
Isu lingkungan dapat lebih ditekan sehingga para petinggi dapat memfokuskan masalah ke lingkup lain, Bahkan bioremediasi dapat membantu memperbaiki masalah yang berkesinambungan didalamnya.
Keunggulan Biomerasi
• Meminimalisasi terinfeksinya pekerja lapangan
• Perlindungan kesehatan masyarakat yang berjangka panjang
• Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah tersebut dengan lahan yang sempit sekalipun.
• Menghilangkan zat-zat berbahaya
• Menggunakan proses yang bersifat alami
• Mengubah polutan bukan hanya memindahkannya
• Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang cepat
C. Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman (hiperakumulator plant).
Tanaman hiperakumulator :
Mampu menyerap lebih dari 10.000 ppm Mn, Zn, Ni Lebih dari 1.000 ppm untuk Cu dan Se Lebih dari 100 ppm untuk Cd, Cr, Pb, dan Co.
Contoh Tanaman Hiperakumulator
Thlaspi caerulescens menyerap Zink (Zn) dan Kadmium (Cd)
Alyssum sp., Berkheya sp., Sebertia acuminate menyerap Nikel (Ni)
Brassicacea sp. Menyerap Sulfate
Pteris vittata, Pityrogramma calomelanos menyerap Arsenik (As)
Pteris vittata, Nicotiana tabacum, Liriodendron tulipifera menyerap Mercuri (Hg)
Thlaspi caerulescens, Alyssum murale, Oryza sativa menyerap Senyawa organik (petroleum hydrocarbons, PCBs, PAHs, TCE juga TNT)
Brassica sp. Menyerap Emas (Au)
Brassica juncea. Menyerap Selenium (Se)
Proses Fitoremediasi
Phytoacumulation : tumbuhan menarik zat kontaminan sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan
Rhizofiltration : proses adsorpsi / pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.
Phytostabilization : penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan.
Rhyzodegradetion : penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba
Phytodegradation : penguraian zat kontamin
Phytovolatization : transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya
Keuntungan Fitoremediasi
Biaya operasi lebih murah
Tanaman juga bisa dijadikan bahan bakar
Pencemaran pada tanah bisa berkurang secara alamiah
Tanah juga akan mengalami perbaikan akibat adanya aktivitas akar
Tanah menjadi lebih subur kembali
Tanaman yang mampu menyerap unsur bernilai ekonomi seperti emas (au) dan nikel (ni) bisa digunakan untuk pertambangan.
Faktor yang mendukung kesuksesan fitoremediasi
Adanya ketersediaan tanaman hiperakumulator yang cocok.
Adanya kerja sama yang baik antarbidang ilmu lain
METODE MENGATASI PENCEMARAN TANAH 2
Tanah yang telah terkontaminasi oleh berbagai jenis polutan dapat dipulihkan dengan metode pengolahan yang disebut dengan remidiasi. Remidiasi yaitu kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah. Sebelum melakukan remediasi, hal yang perlu diketahui diantaranya:
Jenis pencemar (organik atau anorganik), terdegradasi atau tidak, berbahaya atau tidak.
Berapa banyak zat pencemar yang telah mencemari tanah tersebut.
Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P).
Jenis tanah.
Kondisi tanah (basah, kering).
Telah berapa lama zat pencemar terendapkan di lokasi tersebut.
Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).
Remediasi in situ
Remediasi in situ adalah pembersihan atau pengolahan tanah terkontaminasi di lokasi. Remediasi in situ lebih murah dan lebih mudah dengan konversi biologi dan kimia, pemisahan daerah terkontaminasi agar tidak mencemari lingkungan lainnya.
Remediasi ex situ
Remediasi ex situ adalah pengolahan tanah terkontaminasi digali dan diolah di suatu unit pengolahan antara lain, dapat dilakukan dengan cara memisahkan bahan pencemar dengan tanah, penguraian kontaminan dengan mikroba, pemanfaatan energi panas yang dapat menguapkan kontaminan dari tanah, dan ekstraksi kontaminan dari tanah. Remediasi ex situ ini jauh lebih mahal dan rumit.
Bioremediasi
Bioremediasi merupakan proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Proses bioremediasi harus memperhatikan temperatur tanah, ketersediaan air, nutrien (N, P, K), perbandingan C : N kurang dari 30 : 1, dan ketersediaan oksigen.
Jenis pencemar (organik atau anorganik), terdegradasi atau tidak, berbahaya atau tidak.
Berapa banyak zat pencemar yang telah mencemari tanah tersebut.
Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P).
Jenis tanah.
Kondisi tanah (basah, kering).
Telah berapa lama zat pencemar terendapkan di lokasi tersebut.
Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).
Remediasi in situ
Remediasi in situ adalah pembersihan atau pengolahan tanah terkontaminasi di lokasi. Remediasi in situ lebih murah dan lebih mudah dengan konversi biologi dan kimia, pemisahan daerah terkontaminasi agar tidak mencemari lingkungan lainnya.
Remediasi ex situ
Remediasi ex situ adalah pengolahan tanah terkontaminasi digali dan diolah di suatu unit pengolahan antara lain, dapat dilakukan dengan cara memisahkan bahan pencemar dengan tanah, penguraian kontaminan dengan mikroba, pemanfaatan energi panas yang dapat menguapkan kontaminan dari tanah, dan ekstraksi kontaminan dari tanah. Remediasi ex situ ini jauh lebih mahal dan rumit.
Bioremediasi
Bioremediasi merupakan proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Proses bioremediasi harus memperhatikan temperatur tanah, ketersediaan air, nutrien (N, P, K), perbandingan C : N kurang dari 30 : 1, dan ketersediaan oksigen.
METODE MENGATASI PENCEMARAN TANAH 1
Remediasi Sunting
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
Bioremediasi Sunting
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Menurut Dr. Anton Muhibuddin, salah satu mikroorganisme yang berfungsi sebagai bioremediasi adalah jamur vesikular arbuskular mikoriza (vam). Jamur vam dapat berperan langsung maupun tidak langsung dalam remediasi tanah. Berperan langsung, karena kemampuannya menyerap unsur logam dari dalam tanah dan berperan tidak langsung karena menstimulir pertumbuhan mikroorganisme bioremediasi lain seperti bakteri tertentu, jamur, dan sebagainya.
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
Bioremediasi Sunting
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Menurut Dr. Anton Muhibuddin, salah satu mikroorganisme yang berfungsi sebagai bioremediasi adalah jamur vesikular arbuskular mikoriza (vam). Jamur vam dapat berperan langsung maupun tidak langsung dalam remediasi tanah. Berperan langsung, karena kemampuannya menyerap unsur logam dari dalam tanah dan berperan tidak langsung karena menstimulir pertumbuhan mikroorganisme bioremediasi lain seperti bakteri tertentu, jamur, dan sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
MAKALAH PENGELOLAAN LABORATORIUM “SOP LABORATORIUM” DOSEN PENGAMPU : RAHMA DANI,S.Pd.,M.Pd DISUSUN OLEH: KELOMPOK ...
-
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kali ini saya akan membagikan postingan Strategi Pembelajaran Fisika tentang Strategi heor...
-
Tanah yang telah terkontaminasi oleh berbagai jenis polutan dapat dipulihkan dengan metode pengolahan yang disebut dengan remidiasi. Remidia...